LULOPEDIA.ID: Dunia jurnalistik dikejutkan oleh sebuah kabar yang tak terduga. Lima organisasi konstituen Dewan Pers di Sulawesi Tenggara, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)— secara serempak mengecam tindakan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sultra, Ridwan Badallah. Penyebabnya adalah pencatutan nama dan logo organisasi mereka dalam proposal acara buka puasa bersama Gubernur Sultra tanpa izin resmi.
Kisah ini bermula ketika sebuah dokumen proposal dari Dinas Kominfo Sultra senilai Rp140 juta beredar di kalangan media. Proposal tersebut mencantumkan nama dan jabatan para ketua organisasi profesi pers tanpa adanya konfirmasi atau izin sebelumnya. Rencananya, acara buka puasa bersama antara Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka, dan insan pers akan mengundang sekitar 200 orang.
Mengetahui hal tersebut, organisasi pers tersebut segera mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam tindakan Ridwan Badallah. Mereka menilai pencatutan ini sebagai bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap independensi serta profesionalisme organisasi pers. Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Jumat, 22 Maret 2024, mereka menegaskan bahwa tindakan tersebut mencederai integritas dan kepercayaan publik terhadap pers.
Sebagai respons atas insiden ini, organisasi pers di Sultra menyampaikan empat tuntutan utama:
Saat dikonfirmasi oleh sejumlah media, Ridwan Badallah mengklaim bahwa inisiatif proposal tersebut bermula dari permintaan informal beberapa wartawan yang ingin bertemu Gubernur dalam suasana buka puasa bersama. Namun, ia tidak menyebutkan secara spesifik siapa wartawan yang dimaksud.
“Ada wartawan yang mengirim pesan WA menanyakan kapan puang (Gubernur Sumangerukka) bukber dengan teman-teman wartawan,” ujarnya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai identitas wartawan tersebut atau proses selanjutnya hingga proposal diajukan.
Kasus ini memicu sorotan luas di kalangan jurnalis dan publik. Penggunaan nama dan logo organisasi tanpa izin bukan hanya melanggar etika, tetapi juga dapat berimplikasi hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, penggunaan merek terdaftar tanpa hak yang sah dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk pidana penjara dan denda. Selain itu, penggunaan logo tanpa izin juga dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Insiden ini menjadi pengingat bagi semua pihak akan pentingnya menjaga etika dan profesionalisme dalam setiap tindakan, terutama yang melibatkan organisasi profesional dan dana pemerintah maupun dana publik. Transparansi, komunikasi, dan penghormatan terhadap hak-hak organisasi lain harus selalu dijaga untuk memastikan kepercayaan publik tetap terpelihara.
Laporan: Shen Keanu