LULOPEDIA.ID: Ketika matahari beranjak siang pada Rabu, 2 Oktober 2024, suasana di kawasan Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mulai memanas. Warga berkumpul untuk melakukan aksi protes atas proyek geothermal yang sejak lama ditolak oleh masyarakat setempat.
Di tengah-tengah kerumunan itu, seorang jurnalis, Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa.co, hadir untuk meliput aksi tersebut. Sebagai seorang jurnalis yang telah lama dikenal kritis, Herry paham bahwa situasi seperti ini membutuhkan liputan yang komprehensif dan obyektif, guna memberi gambaran nyata tentang situasi yang dihadapi masyarakat Poco Leok.
Herry tiba di lokasi sekitar pukul 13.00 WITA. Ia melihat warga berkumpul, membawa spanduk, dan meneriakkan aspirasi mereka, menolak dengan tegas proyek geothermal yang mereka anggap akan merusak tanah leluhur. Masyarakat Poco Leok memiliki hubungan yang erat dengan tanah mereka.
Bagi mereka, tanah bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga sumber kehidupan dan identitas kultural. Karena itu, mereka menolak proyek geothermal yang dianggap akan merusak lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem setempat.
Namun, hanya beberapa saat setelah Herry memulai peliputannya, situasi berubah. Beberapa anggota polisi yang berada di lokasi tiba-tiba menangkapnya bersama empat warga lainnya. Ia kemudian digiring ke mobil polisi. “Mereka memperlakukan kami seperti pelaku kriminal,” kata seorang saksi mata yang enggan disebutkan namanya.
Bahkan, menurut informasi dari masyarakat yang berada di lokasi, Herry dan warga lainnya juga mengalami kekerasan fisik. Padahal, Herry berada di lokasi sebagai seorang jurnalis, menjalankan tugas jurnalistiknya yang dijamin oleh Undang-Undang Pers.
Penangkapan dan perlakuan kasar terhadap Herry Kabut ini mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan pers dan pegiat kebebasan berekspresi. Sebagai jurnalis, Herry memiliki hak untuk meliput dan menyampaikan berita, apalagi tentang isu-isu krusial seperti konflik agraria dan dampaknya terhadap masyarakat lokal.
Peristiwa ini jelas melanggar kebebasan pers yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.” Artinya, tindakan polisi yang menghalangi Herry dalam melakukan liputan adalah pelanggaran serius terhadap hukum pers di Indonesia.
Selain itu, dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, seperti pemukulan dan penganiayaan terhadap Herry, termasuk dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengancam hukuman hingga lima tahun penjara bagi pelaku.
Perlakuan semacam ini tidak hanya menghalangi kerja jurnalis tetapi juga mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Presidium Indonesia Chief Editors Club (ICEC) atau Perhimpunan Pemimpin Redaksi Indonesia segera merespon insiden ini dengan keras. Dalam pernyataan resminya, ICEC mengecam tindakan aparat kepolisian yang menangkap dan melakukan kekerasan terhadap Herry Kabut. Sebagai wadah bagi para pemimpin redaksi media di Indonesia, ICEC memandang kasus ini sebagai ancaman terhadap kebebasan pers dan keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
ICEC mendesak Kapolri untuk segera mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap Herry Kabut di Polres Manggarai. “Penegakan hukum harus tegas, dan aparat yang melakukan pelanggaran harus mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ujar salah satu perwakilan ICEC. Selain itu, mereka menuntut agar Kapolri mengingatkan jajarannya terkait regulasi Undang-Undang Pers yang melindungi kerja-kerja jurnalis.
Tak hanya itu, ICEC juga menekankan pentingnya memberikan kepastian pengamanan dan perlindungan kepada pemimpin redaksi serta jurnalis yang bekerja di lapangan. “Jurnalis adalah pilar demokrasi. Tanpa jurnalis, publik tidak akan mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Maka, kebebasan mereka harus dilindungi,” tambahnya.
Kasus yang menimpa Herry Kabut bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih cukup tinggi. AJI mencatat bahwa kekerasan terhadap jurnalis kerap dilakukan oleh oknum aparat keamanan saat jurnalis meliput isu-isu yang sensitif, seperti konflik agraria, demonstrasi, dan kasus-kasus pelanggaran HAM. Fenomena ini menjadi catatan buruk bagi negara yang menganut sistem demokrasi, di mana kebebasan pers seharusnya dijunjung tinggi.
Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Liputan yang dilakukan jurnalis di lapangan, seperti yang dilakukan oleh Herry Kabut di Poco Leok, merupakan bagian dari upaya memberikan suara bagi kelompok masyarakat yang seringkali terpinggirkan dalam wacana publik. Ketika kerja jurnalistik terhalang dan dihadapkan pada intimidasi serta kekerasan, maka akses masyarakat terhadap informasi pun turut terancam.
Penangkapan Herry Kabut menjadi simbol perjuangan kebebasan pers di Indonesia. Peristiwa ini mengingatkan semua pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat, bahwa perlindungan terhadap jurnalis harus diutamakan demi terwujudnya demokrasi yang sehat dan transparan. Kebebasan pers bukanlah milik jurnalis semata, melainkan milik seluruh masyarakat yang berhak mendapatkan informasi yang benar dan berimbang.
ICEC, bersama dengan berbagai organisasi pers lainnya, terus menyerukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum memegang teguh komitmen untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik. “Kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Tanpa kebebasan ini, demokrasi hanya menjadi ilusi,” tegas Presidium ICEC.
Laporan: Shen Keanu