LULOPEDIA.ID: Di bawah sinar matahari yang cerah, seratus siswa SMA Negeri 1 Wawotobi duduk rapi di sebuah ruangan sekolah. Hari itu, suasana berbeda terasa sejak pagi. Spanduk berwarna cerah bertuliskan “Sekolah Kebangsaan” terbentang di pintu gerbang utama, menyambut antusiasme ratusan siswa yang bersiap mengikuti acara penting. Bukan hanya acara biasa, tetapi sebuah inisiatif besar yang bertujuan untuk menyiapkan mereka, para pemilih pemula, agar lebih bijak dalam menggunakan hak pilih dan memahami peran krusial dalam demokrasi.
Kegiatan yang digelar ini bukan tanpa alasan. Di era digital yang kian berkembang pesat, dengan Gen Z mendominasi lebih dari 44 juta penduduk Indonesia, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Menurut berbagai survei, tingginya penetrasi internet di kalangan anak muda tidak selalu diikuti dengan pemahaman yang memadai tentang bagaimana berpartisipasi secara aman dan cerdas di ruang demokrasi digital. Di sinilah Program Tular Nalar, yang didukung oleh Love Frenkie dan Google.org, hadir menjawab tantangan tersebut.
Sekitar 100 siswa yang berusia 17 tahun, usia yang tergolong sebagai pemilih pemula, berkumpul dalam aula sekolah. Mereka adalah representasi dari semangat perubahan. Kepala Sekolah, Jusmar, S.Pd., M.M., membuka acara dengan pidato yang menginspirasi. “Kalian bukan hanya masa depan bangsa, tetapi penentu arah demokrasi kita,” ucapnya dengan nada penuh semangat.
Ramadhan Riski Pratama, SH, perwakilan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Konawe, hadir sebagai salah satu pembicara. Ia menekankan pentingnya partisipasi anak muda dalam Pemilu 2024 yang akan datang.
“Kita tidak hanya membutuhkan suara kalian, tapi juga kecerdasan dan kesadaran kalian dalam memilih,” katanya di depan para siswa yang menyimak dengan serius.
Namun, inti dari kegiatan ini tidak hanya berhenti pada pidato. Dengan bimbingan dari 10 fasilitator Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dari Kendari, para siswa ini dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka mempelajari berbagai topik, mulai dari konsep kewarganegaraan digital, pentingnya memeriksa fakta, etika dalam bersosial media, hingga memahami peran mereka dalam menjaga keberlangsungan demokrasi.
Di salah satu kelompok, seorang siswa bernama Siti dengan penuh semangat berbagi pendapatnya tentang pentingnya literasi digital. “Sering kali kita melihat berita di media sosial, tapi kita nggak tahu itu benar atau hoaks. Kalau kita nggak hati-hati, kita bisa ikut menyebarkan informasi yang salah,” ucapnya.
Fasilitator kelompok tersebut dengan sabar menjelaskan bagaimana cara memverifikasi informasi dan pentingnya skeptis dalam menghadapi berita yang viral di media sosial.
Fera Tri Susilawaty, selaku penanggung jawab acara, bersama dengan Jumrana, Presidium Mafindo wilayah tengah, memantau langsung jalannya kegiatan. Mereka memastikan bahwa setiap sesi berlangsung interaktif dan memberikan pemahaman yang mendalam kepada peserta.
“Kita ingin memastikan generasi muda kita tidak hanya aktif di dunia digital, tetapi juga cerdas dan bertanggung jawab dalam setiap interaksi yang mereka lakukan,” ujar Fera.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian pelatihan nasional yang akan diadakan di 37 provinsi di seluruh Indonesia. Pelatihan ini dirancang untuk mempersiapkan pemilih muda menjadi agen literasi digital yang mampu menyaring informasi dengan bijak.
Tujuannya jelas: menciptakan lingkungan demokrasi digital yang sehat dan penuh partisipasi aktif dari generasi muda.
Di era di mana informasi bisa menyebar dengan cepat dan tanpa filter, keterampilan untuk memeriksa fakta dan memahami konteks menjadi lebih penting dari sebelumnya.
Sebuah laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 77,02%, dengan lebih dari 60% pengguna aktif adalah Gen Z. Namun, laporan yang sama menunjukkan bahwa kesadaran akan partisipasi aktif dalam demokrasi digital masih rendah.
Di sinilah peran penting dari kegiatan seperti Sekolah Kebangsaan ini—mengisi celah antara penggunaan teknologi dan pemahaman demokratis yang mendalam.
Dengan dukungan penuh dari Love Frenkie dan Google.org, harapannya adalah agar kegiatan ini dapat menjadi langkah awal yang signifikan dalam membekali generasi muda Indonesia, khususnya pemilih pemula, dengan literasi digital yang mumpuni. Mereka tidak hanya diajarkan bagaimana berpartisipasi dalam Pemilu, tetapi juga bagaimana menjadi warga digital yang cerdas—mampu membedakan informasi yang benar dari yang salah, serta menjaga interaksi yang positif dan produktif di dunia maya.
Sebagai penutup acara, salah satu siswa, Andi, menyampaikan kesannya, “Kegiatan ini membuka mata saya tentang betapa pentingnya peran kita sebagai pemilih muda. Saya jadi lebih paham bagaimana cara memilih dengan bijak, dan juga bagaimana bersikap di media sosial agar tidak merugikan orang lain.”
Dengan semangat yang tinggi, SMA Negeri 1 Wawotobi mengukir sejarah baru—sebuah sekolah yang tidak hanya mendidik siswanya untuk cerdas secara akademik, tetapi juga melek demokrasi dan digital. Di tengah arus deras informasi, mereka berdiri sebagai generasi muda yang siap menjaga masa depan demokrasi Indonesia.
Laporan: Shen Keanu