BEM Se-Sultra Tolak Politik Uang, Satu Juta Amplop yang Mengancam Demokrasi

Shen Keanu, Lulopedia Indonesia
Thursday, 3 Oct 2024 - 13:40 Wita

LULOPEDIA.ID: Di sebuah warung kopi sederhana di Kelurahan Wayong, Kecamatan Kadia, Kota Kendari, sekelompok mahasiswa dari berbagai universitas di Sulawesi Tenggara berkumpul. Mereka duduk bersila, wajah-wajah mereka menyiratkan keseriusan dan semangat yang membara. Hari itu, Rabu (2/9/2024), adalah hari yang penting. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Sulawesi Tenggara menggelar konferensi pers, menyuarakan penolakan tegas terhadap dugaan penyebaran satu juta amplop oleh salah satu calon gubernur Sulawesi Tenggara.

Para mahasiswa yang hadir bukan sekadar datang untuk mendengarkan. Mereka adalah perwakilan dari berbagai perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara: IAIN Kendari, Unsultra, Stimik Bina Bangsa, Politeknik Indotek, Unilaki, Politeknik Bina Husada, Institut Dharma Bharata, hingga STAH Bahtara Guru. Semua memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga nilai demokrasi agar tidak ternodai oleh praktik-praktik kotor seperti politik uang.

Di tengah konferensi pers, Ashabul Akram, Koordinator Pusat BEM Se-Sulawesi Tenggara, angkat bicara. Suaranya mantap, membawa beban tanggung jawab sebagai wakil mahasiswa yang ingin menjaga integritas pemilihan umum.

“Kami menemukan adanya praktik politik uang yang diduga dilakukan oleh tim salah satu paslon,” tegasnya, menyiratkan keseriusan investigasi yang telah mereka lakukan.

Creative Preneur

Kabar tentang penyebaran satu juta amplop yang diduga dilakukan oleh salah satu calon gubernur ini menjadi pusat perhatian. Ashabul melanjutkan dengan menjelaskan hasil investigasi BEM Se-Sulawesi Tenggara.

“Dalam kampanyenya, calon gubernur tersebut mempersiapkan satu juta amplop untuk masyarakat Sultra,” ujarnya. Sontak, pernyataan ini menjadi bom waktu yang siap meledakkan percakapan politik di Sulawesi Tenggara.

Praktik politik uang bukanlah isu baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Namun, bagi mahasiswa, ini adalah perlawanan terhadap praktik-praktik politik yang dianggap usang dan tidak relevan lagi dengan perjuangan demokrasi di era modern.

Ashabul menekankan bahwa politik uang tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga budaya masyarakat yang selama ini telah berusaha menolak kegiatan pragmatis semacam ini.

“Secara tidak langsung, pesta demokrasi ini kehilangan nilainya dengan adanya praktik politik uang. Ini juga merusak budaya masyarakat yang selama ini menolak kegiatan pragmatis seperti ini,” katanya.

Penolakan keras yang disuarakan oleh BEM Se-Sulawesi Tenggara bukan hanya berlandaskan pandangan moral semata. Praktik politik uang memiliki dampak serius terhadap kualitas demokrasi dan kebijakan publik yang dihasilkan. Politik uang berpotensi mengarahkan kebijakan publik ke arah yang menguntungkan kelompok tertentu, bukan rakyat banyak.

Lebih jauh lagi, politik uang mengembalikan Indonesia ke era kolonial, ketika politik didominasi oleh kepentingan kelompok elit dengan mengesampingkan kepentingan rakyat.

Ashabul pun mengingatkan masyarakat agar tidak tergoda oleh bujukan amplop-amplop tersebut. “Ini adalah langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Kita sudah berusaha membangun budaya politik yang lebih baik, dan ini jelas merupakan ancaman besar,” jelasnya. Politik uang dianggap sebagai ancaman serius terhadap cita-cita demokrasi yang bersih dan jujur.

Para mahasiswa tidak hanya berhenti pada pernyataan sikap. Mereka meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Tenggara untuk lebih serius dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan ketat diperlukan agar proses pemilihan gubernur berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang jujur dan adil. “Kami meminta Bawaslu Sultra untuk serius mengawasi dan mengontrol jalannya pemilihan gubernur agar tidak dicederai oleh politik uang,” kata Ashabul dengan lantang.

Konferensi pers ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa Sulawesi Tenggara untuk bersatu melawan praktik-praktik politik yang dinilai mencoreng demokrasi. Mereka sadar bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika masyarakat dan berbagai elemen lainnya turut berpartisipasi aktif. Sebagai generasi muda, mereka mengambil peran sebagai garda depan dalam menjaga keberlangsungan demokrasi yang bersih.

Penolakan terhadap satu juta amplop ini bukan sekadar retorika kosong. Di dalamnya terkandung semangat dan harapan akan perubahan. Mahasiswa percaya bahwa perubahan dapat dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti penolakan terhadap politik uang. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi terbentuknya budaya politik yang lebih sehat di Sulawesi Tenggara dan Indonesia pada umumnya.

Dengan tegas, BEM Se-Sultra mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menyadari bahaya politik uang. “Kami menolak keras peredaran satu juta amplop yang hanya akan merusak demokrasi kita,” ulang Ashabul, menutup konferensi pers tersebut. Mereka juga berharap masyarakat bisa lebih kritis dalam melihat janji-janji politik dan memilih pemimpin berdasarkan integritas, bukan berdasarkan uang.

Laporan: Shen Keanu

Creative Preneur

Baca Juga

Rekomendasi untuk Anda